I.
PENDAHULUAN
Dalam hubungannya sebagai sumber pokok ajaran islam, hadist lebih
umumnya lebih merupakan penafsiran konstektual dan situasional atas ayat ayat
Al-Qur’an dalam merespon pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadist
merupakan interprentasi Nabi SAW yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi
para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan
latar belakang kehidupannya berbada, maka petunjuk yang diberikan Nabi berbeda
pula. Pada sisi lain, para sahabatpun membeberkan interpretasi yang berbeda
terhadap hadist.
Al-Qur’an dan hadist karena kondisi sahabat dan latar belakangnya
berbeda, maka petunjuk yang dilakukan Nabi itu juga berbeda pula. Pada sisi
lain para sahabat juga memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadist Nabi,
dari sini maka hadist pada umumnya bisa bersifat temporal dan konstektual. Nah
untuk karena itu kita akan membahas tentang pengertian hadist konstektual dan
tekstual.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian
Hadist Konstektual dan Tekstual?
B.
Alasan
Hadist dikatakan Tekstual dan Konstektual.
C.
Contoh
Dari Hadist Konstektual dan Tekstual.
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadist Konstektual dan Tekstual
Pemahaman dan penerapan hadist secara tekstual dilakukan bila
hadist yang bersangkutan setelah digabungkan dengan segi-segi yang berkaitan
dengannya, missal latar belakang terjadinya tetapi menurut pemahaman adalah
sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadist yang bersangkutan. Dalam pada
itu, pemahaman dan penerapan hadist secara konstektual dilakukan bila “di balik”
teks suatu hadist ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadist yang
bersangkutan dipahami dan tidak diterapkan sebagai mana maknannya yang tekstual
(tersurat)
Adapula hadits Nabi yang pemahamannya hanya bisa dipahami secara
kontekstual. Sedangkan kalau dipahami secara tekstual dirasa kurang tepat dalam
pemaknaanya. Untuk memahami hadits dengan tekstual maupun kontekstual kita bisa
melihat dari sisi matan hadits, yang mana ungkapan matan hadits mempunyai
beberapa corak atau model, yaitu :
a.
Jawami’ al
kalim (ungkapan singkat namun padat maknanya)
Contoh: الح
ربحد عه “ Perang itu siasat”. (HR. Bukhori Muslim,
dari Jabir bin Abdullah). Pemahaman terhadap hadits tersebut sejalan dengan
teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.
b.
Bahasa tamsil
(perumpamaan)
Contoh:
كل مسكر خمر وكل مسكر حرام
Artinya: “Setiap minuman yang memabukkan adalah khomr dan setiap
(minuman) yang memabukkan adalah haram.” (HR. Bukhori Muslim dari Ibnu ‘Umar
dengan lafal dari riwayat muslim). Hadits tersebut secara tekstual memberi
petunjuk bahwa keharaman khomr tidak oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya
kebijaksanaan dakwah, dispensasi kepada orang-orang tertentu diperbolehkan.
c.
Ungkapan
simbolik
المؤمن ئكل في معى واحد والكفر ئكل ف سبعه امعء
Artinya: “Orang yang beriman itu makan
dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.” (HR.
Al-Bukhori, al-Turmudzi dan Ahmad, dari Ibnu ‘Umar).
Secara tekstual
hadits tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang
kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia
tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadits
tersebut merupakan ungkapan simbolik. Itu harus dipahami secara kontekstual
yaitu menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam mengahdapi nikmat Allah.
Orang mukmin memandang makn bukan tujuan hidup sedangkan orang kafir memandang
makan adalah sebagian dari tujuan hidup.
Bahasa percakapan (dialog)
Seperti empat macam matan hadits yang menjelaskan amal-amal yang lebih utama atau lebih baik itu ternyata
banyak.
d.
Ungkapan
analogi
Seperti sebuah hadits yang menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat
seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi itu,
para sahabat bertanya “apakah menaylurkan hasrat seksual kami (kepada
isteri-isteri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab: Bagaimanakah pendapatmu
sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkannya di jalan haram, apakah (dia)
menanggung dosa?Maka demikianla, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang
halal, dia mendapat pahala. (HR. Muslim dari Abu Dz.
B.
Alasan
Mengapa Teks Hadist Dipahami Secara Tekstual Dan Konstektual.
Dasar-dasar Tekstual dan Konstektual, ada beberapa alasan mengapa
konstektual menjadi keniscayaan. Menurut M. Sa’ad alasan-alasan tersebut adalah
:
1.
Masyarakat
yang dihadapi Nabi Muhammad SAW, bukan sama sekali kosong dari pranata-pranata
cultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan
sebagian bersifat tipikal, misalnya pranata dzihar.
انت
علي كظهر امي(bagiku engkau bak
punggung ibuku) ungkapan tersebut hanya berlaku pada konstek budaya Arab, jika
ditransfer dalam budaya keIndonesiaan maka jelas maknanya berbeda.
2.
Dalam
keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan
alasan “situasi dan kondisi”, misalnya tentang ziarah kubur yang awalnya di
larang lantaran nantinya menjerumus kekufuran dan setelah dipandang masyarakat
akhirnya mengerti dan diperbolehkan.
3.
Peran
sahabat sebagai pewaris Nabi yang paling dekat sekaligus memahami dan
menghayati hadist Nabi yang diembani dan dirisalah yang diembannya telah
mencontohkan kontekstualisasi nash (teks), misalnya Umar Bin Khottod pernah mencontohkan
hukum talak tiga yang sekali ucap asalnya talak satu langsung talak tiga.
4.
Implementasi
terhadap nash (teks) secara tekstual sering tidak terjadi kemaslahatan yang
justru terjadi reasen dalam islam itu sendiri.
5.
Pemahaman
tekstual secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan
keanekaragaman yang justru di introduksi oleh nash itu sendiri.
6.
Pemahaman
secara konstektual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berfungsi
untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan
ketika dilakukan perumusan legak spesifik yang baru.
7.
Penghargaan
terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya
pemahaman teks-teks Islam secara konstektual islam itu adalah agama rasional
dan intelektual.
8.
Konstektualisasi
pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat dimana dan kapan
saja selalu dipandang positif, optimis yang dibuktikan dengan sikap khasnya
yang akomodatif terhadap pranata social yang ada yang terumuskan dalam kaidah
Al-aadatu Muhkamatun (tradisi itu dipandang legal).
9.
Keyakinan
bahwa teks teks Islam adalah petunjuk yang terakhir dari langit yang berlaku
sepanjang masa, mengandung makna bahwa
didalam teks mengandungdinamika internal yang sangat kaya.
Batasan konstektual meliputi dua hal :
1.
Dalam
ibadah mahdhoh (murni).
Jika ada
penambahan atau pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi,
maka hal tersebut adalah bid’ah.
2.
Bidang
diluar ibadah murni
Konstektualisasi
dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash, untuk selanjutnya
dirumuskan legal spesifik lamanya.
Batasan Tekstual menurut Suryadi meliputi :
1.
Ide
moral/ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna
yang tersirat dari balik teks dan sifatnya Universal, lintas ruang waktu dan
intersubjektif.
2.
Bersifat
absolute, prinsip, universal, fundamental.
3.
Mempunyai
visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bin ma’ruf
4.
Terkait
masalah relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat Universal, artinya segala
sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa
terpengaruh letak geografis, historis dan budaya tertentu.
Adapun
batasan-batasan konstektual meliputi:
1.
Menyangkut
bentuk atau saran yang tertuang.
2.
Aturan
yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan biologis.
3.
Aturan
manusia yang menyangkut sebagai makhluk sosial.
4.
Terkait
masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
C.
Contoh-Contoh
Hadist Tekstual dan Konstektual
1.
Contoh hadits yang dipahami secara tekstual
dan kontekstual
اعتسلوامنه وتوضؤوافانه هوالطهورماه
“mandilah dan berwudhulah kalian dengan air laut tersebut, sebab
air laut itu suci dan bangkainyapun juga halal” diriwayatkan oleh Imam Ahmad
Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah, dia berkata : “pada suatu hari kami
pernah pergi bersama NAbi SAW, tiba tiba datanglah seorang nelayan, seraya
bertanya, ya Rasulluah sesungguhnya kami ini bisa pergi kelaut untuk mencari
ikan. Pada waktu kami berlayar sampai ditengah laut kami kadang bermimpi keluar
air mani (Junub). Dengan demikian kami perlu air untuk mandi dan berwudhu
bagaimana jika kami mandi dan berwudhu menggunakan air laut? Sebab jika kami
mandi dan berwudhu menggunakan air tawar yang kami bawa untuk minum tentu kami
akan mati kehausan. Nabi kemudian bersabda sebagai mana dikutip diatas.
Jadi setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengan
asbabul wurudnya tadi, hadist tersebut ternyata tetap menuntut pemahaman sesuai
dengan apa yang tertulis atau tekstual.
عن ابي بكره قل لقد نفعني الله بكلمه سمعتها من رسول الله ص ما ايام الجمل
ماكدت ان الحق باصحاب الجمل فاقاتل معهم قل لما بلغ رسول االله ص م ان بعد اهل
فارس قد ملكوا عليهم بنت كسري قل عليه الصلاه والسلم لن يفلح قوم ولو اامر هم
امراه(روه بحري)
“Diriwayatkan dari Abu Bakar, (ia berkata) :
“sungguh, Allah telah member manfaat kepadaku lantaran kalimat yang aku dengar
dari Rasulluah SAW pada perang jamal, ketika aku hamper terjebak ikut perang
jamal.” Selanjutnya ia berkata, “ketika berita bahwa Persia telah mengangkat
puteri Irsa sebagai ratu, hal itu sampai pada Rasul kemudian beliau bersabda :
“tidak akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan segala urusannya kepada
seorang wanita”. (HR
Al-Bukhari).
Dipahami secara tekstual hadist ini melarang perempuan menjadi
pemimpin. Hamper seluruh fuquha yang melarang keterlibatan seorang perempuan
menjadi pemimpin mengacu pada hadist ini sebagai dalil. Dibelakang itu, mereka
memberikan argumentpenguat bahwa perempuan adalah makhluk yang kurang akalnya,
tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Karena itu, ditutup peluang bagi kaum
wanita untuk menempati jabatan kepemimpinan dalam segala bidang yang mengurusi
orang banyak.
Kemudian ketika dipahami secara konstektual. Imam Abu hanifah
membolehkan wanita menjabat seorang hakim, itupun dalam perkara hukum perdata,
bukan pidana. Imam jarir ath-thabari lebih lunak lagi dengan memperbolehkannya
wanita menjadi pemimpin disegala bidang, kemudian Al-mawardi langsung menilai
sebagai hal tersebut menetang ijma (kesepakatan para ulama).
المؤمن
ياكل في معي واحد والكافر ياكل في سبعة امعاء
“orang yang beriman itu makan dengan satu usus(perut), sedang orang
kafir makan dengan 7 usus” (HR Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, dan Ahmad, dari ibnu
Umar). Secara tekstual hadist tersebut
menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal dalam
kenyataan yang lazim perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh
perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadist itu merupakan ungkapan
simbolik.
Dipahami secara konstektual hadist ini menunjukan perbedaan sikap
atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin makan bukan tujuan
hidup sedangkan orang kafir memandang makan adalah sebagian dari tujuan hidup.
اطلبوا العلم ولو
بالصين
“Carilah Ilmu sampai ke Negeri China”
Hadist yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik yang matannya
sangat manjur, hadist tersebut diriwayatkan dengan sanad doif (lemah) oleh
Al-baihaqi, Abu ya’ala al-khalif al-baihaqi ibn adi al-dailani dan ibn adibar.
Hadist ini dipahami oelh waabi bahwa negeri Cina adalah negeri Cina itu
sendiri. Ika dipahami secara konstektual maksud hadist diatas tersebut carilah
ilmu sampai negeri Cina berarti mencari ilmu sejauh-jauhnya.
IV.
KESIMPULAN
A.
Pengertian
hadist Yang Dipahami Secara Tekstual dan Konstektual
Tekstual adalah hadist yang pengkajiannya hanya berdasarkan teks
saja tanpa memperhatikan absabul hurud, keadaan sekarang dan lain
lain.Konstektual yaitu hadist yang pengkajiannya didasarkan oleh pertimbangan
hal-hal lain, seperti mempertimbangan absabul hurudnya dan pengaplikasian
terhadap perkembangan zaman.
B.
Alasan
hadist dipahami secara tekstual dan konstektual.
1.
Ada
Hadist yang menggunakan bahasa secara jelas. Tidak menggunakan kata kiasan
ataupun kalimat yang mengandung makna ambigu. Dan ketika dikaitkan dengan latar
belakang atau sebab-sebab munculnya hadist tersebut tetap dipahami secara
tekstual. Sehingga hadist yang seperti ini harus dipahami secara tekstual.
2.
Ada
hadist yang menggunakan bahasa kiasan atau menggunakan kalimat yang menggunakan
makna ambigu. Dan ketika dikaitkan dengan asbab al-wurudnya hadist tersebut
mengharuskan tidak hanya dipahami secara tekstual tapi juga konstektual.
3.
Kemudian
karena kondisi yang berbeda pada saat munculnya hadist dengan sekarang atau
problemnya sudah berbeda.
C.
Contoh
hadist dipahami secara tekstual dan konstektual
المؤمن
ياكل في معي واحد والكافر ياكل في سبعة امعاء
“orang yang
beriman itu makan dengan satu usus(perut), sedang orang kafir makan dengan 7
usus” (HR Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, dan Ahmad, dari ibnu Umar).
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian yang dapat kami tulis sampaikan dalam makalah
ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah dimasa yang aan datang. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umunya.
DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi Ismail, Hadist Nabi yang
Tekstual dan Konstektual, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1994)
Dr Kh A.Malik
Madani, Politik Berpayung Fiqih, (Yogyakarta : PT Pustaka Pesantren, 2010)
Dr Abu Yasid, Fikih
Politik, (Jakarta : Erlangga, 2010)
Hidayati Nur
Muhammad, Meluruskan Vonis Wahabi, (Semarang : Nasyul Publising ‘ilmi,T.Th)